BATURAJA – Kritik tajam kembali menggema di ruang publik Sumatera Selatan. Aktivis sekaligus pengamat sosial-politik, Aldy Mandaura, menyoroti rendahnya tingkat kehadiran anggota DPRD Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI).
Terutama dalam rapat paripurna resmi yang dìgelar pada Selasa, 4 November 2025. Dari 30 anggota, hanya 16 orang yang hadir di ruang sidang. Ini membuat rapat tersebut nyaris tidak memenuhi syarat kuorum. Sebagaimana diatur dalam tata tertib lembaga legislatif daerah.
“Gedungnya megah, tapi semangatnya kempes,” ujar Mandau.
Merosot
Dalam pernyataannya, Mandau menyebut absennya sebagian besar wakil rakyat. Sebagai cermin kemerosotan etika politik dan tanggung jawab moral. Ia menilai perilaku tersebut mencederai makna jabatan publik. Semestinya mereka bekerja dengan integritas dan kedisiplinan tinggi.
“Lucu sekaligus memalukan. Gedungnya megah, kursinya empuk, ruangannya sejuk, tapi semangatnya justru kempes. Dari 30 orang wakil rakyat, hanya 16 belas yang datang. Kalau hadir saja tak sanggup, bagaimana bisa memperjuangkan aspirasi masyarakat yang memilih mereka dengan penuh pengorbanan?” kata Mandau, yang akrab disapa Jang Mandau, dengan nada sarkastik.
Lemahnya Integritas
Mandau menegaskan, perilaku ketidakhadiran anggota dewan bukan persoalan administratif semata. Melainkan indikasi lemahnya integritas politik. Serta menurunnya rasa tanggung jawab terhadap amanah rakyat.
Menurutnya, DPRD sebagai lembaga representatif tidak boleh kehilangan nilai keteladanan. Karena setiap tindakan mereka akan menjadi cermin moral bagi masyarakat.
“Ini bukan sekadar masalah absen, tetapi masalah tanggung jawab. Jika forum resmi negara saja tidak mereka hormati. Maka kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif bisa runtuh. Perilaku seperti ini, bila dìbiarkan, hanya akan menanamkan budaya permisif dan menormalisasi kemalasan politik,” tegasnya.
Ironi Demokrasi
Ironi Demokrasi dan Krisis Keteladanan Politik. Dalam kritiknya, Mandau menggambarkan ironi demokrasi yang semakin terasa di tingkat lokal.
Ia membandingkan semangat rakyat yang rela datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Di bawah terik matahari dengan sikap sebagian wakil rakyat yang enggan hadir di ruang berpendingin udara.
“Rakyat saja sanggup berdiri di bawah panas demi menyalurkan suara. Masa wakilnya tidak sanggup duduk di ruang ber-AC untuk rapat? Ini bukan hanya malas. Tapi bentuk pengkhianatan terhadap amanah publik. Jangan sampai masyarakat berpikir lembaga legislatif hanya tempat mencari gaji,l. Bukan ruang pengabdian,” ujarnya dengan nada tegas.








