Ekonomi Senjata Kekuasaan

oleh
oleh

Oleh: Muhammad Aldy Mandaura

SELAMA tiga dekade terakhir, globalisasi dìpromosikan sebagai jalan pintas menuju kemajuan.

Negara-negara dìdorong untuk membuka diri, memangkas tarif, menarik investasi asing. Dan menjadi bagian dari “rantai pasok dunia.”

Tapi kini, janji-janji itu mulai goyah. Dunia justru menyaksikan bahwa keterbukaan ekonomi bisa berubah menjadi jebakan.

Lebih jauh lagi, ekonomi kini menjelma menjadi senjata paling efektif dalam perebutan pengaruh global.

Di balik perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok. Di balik sanksi ekonomi terhadap Rusia dan Iran, kita melihat satu hal yang sama: ekonomi digunakan sebagai alat tekanan politik.

Negara yang punya kontrol atas sistem keuangan, jalur logistik, dan sumber daya strategis akan selalu punya keunggulan. Untuk menundukkan pihak lain—tanpa perlu mengirim satu pun pasukan.

 

Posisi Rentan

 

Sayangnya, negara berkembang, termasuk Indonesia, berada di sisi yang paling rentan. Dalam pertarungan ini.

Ketika pasokan bahan pangan terganggu akibat konflik Ukraina. Kita terdampak. Ketika harga energi naik karena embargo. Kita goyah.

Ketika negara maju membatasi ekspor dan teknologi. Kita hanya bisa bergantung.

Retaknya globalisasi menunjukkan satu fakta: dalam dunia yang makin saling terhubung. Yang tidak berdaulat akan mudah dìkorbankan.

Ironi globalisasi paling nyata terlihat dalam hubungan ekonomi yang timpang. Negara berkembang seperti Indonesia banyak mengekspor bahan mentah.

Namun mengimpor produk jadi dengan nilai yang jauh lebih tinggi. Kita ekspor nikel. Tapi beli kembali baterai kendaraan listrik dengan harga puluhan kali lipat.

No More Posts Available.

No more pages to load.