Feminisme, Kedalaman Cinta, dan Lailatul Qadr

oleh
oleh

Banyaknya hadist yang menganjurkan untuk banyak beribadah  malam hari pada malam-malam ganjil 10 terakhir bulan Ramadhan mengisyaratkan adanya berkah dan nilai-nilai keutamaan pada malam hari.

 

Malam Mulia

Lailatul Qadar, meski kemudian maknanya berkembang bahkan hingga menyentuh mistis, dimaknai sebagai malam mulia di mana seorang hamba mencapai puncak kedekatan spiritualitasnya dengan Tuhannya.

Lalu, bagaimana mendekatkan diri kepada Allah dan meraih prestasi puncak itu?

Ibn’ Arobi, filsuf Arab Andalusia punya pandangan menarik. Menurutnya, untuk meraih lailatul qadr, seyogyanya diraih bukan hanya dengan ibadah. Namun juga dengan membersihkan dan mengheningkan jiwa.

Lebih jauh, membersihkan jiwa dan meraih sifat-sifat feminisme seorang perempuan.

Secara dimensi waktu, malam adalah perempuan dan siang adalah laki-laki. Meraih keutamaan ibadah, doa, dan penyerahan diri haruslah dilakukan secara feminin: hening dan penuh kelembutan hati.

Jalaluddin Ar-Rumi, inspirator Ibn’ Arobi, menarasikan perempuan dengan begitu indah:

“Perempuan adalah tipe terluhur dari keindahan di bumi. Namun keindahan di bumi ini tak ada artinya kecuali menjadi manifestasi dari keindahan Ilahi. Ketahuilah bahwa Tuhan tak mungkin direnungkan terlepas dari wujud konkret dan ketahuilah bahwa Dia terlihat secara lebih sempurna dalam wujud manusia daripada dalam wujud lainnya. Dan lebih sempurna dalam wujud perempuan daripada dalam laki-laki.”

Maka, kalau ingin mendekatkan diri kepada Tuhan, termasuk keinginan untuk meraih Lailatul Qodar, menjadi penting memiliki kesadaran batin perempuan (feminitas); yaitu kasih sayang, lembut, pema’af dan heningkan diri di sepertiga malam. Meski tentunya hal ini tidak mengelak dari  pentingnya nilai-nilai maskulinitas seperti menaklukkan, menguasai, dan mengekploitasi. (*)

Penulis adalah Jurnalis sekaligus penulis buku

#lailatulqadar
#ramadhankarim

No More Posts Available.

No more pages to load.