PUPR bisa mengolah lagi dana Rp 61 M. Sebagian untuk dana operasional dinas, gaji dan lain-lain.
Nop, selaku Kadin PUPR yang mengatur semuanya. Mengatur 9 proyek ini, tentu atas persetujuan atau perintah ‘junjungannya’. Tak mungkin seorang Nop, berani memutuskan sendiri.
Terbukti sebelum pencairan terungkap ada pertemuan segi empat. Antara perwakilan anggota DPRD OKU (FJ, MFR, dan UH) dengan Nop, Kadin PUPR, Kepala BPKAD STW, dan Pejabat Bupati.
Siapa pejabat bupatinya? Kalau pertemuan pencairan itu terjadi di Maret 2025 jelaslah siapa dia (TM). Tetapi kalau yang dìmaksud pertemuan berdasarkan kesepakatan awal (pada Januari 2025), maka jelas pula lah siapa yang menjabat pada saat itu (MIA).
Lalu dìmana letak pemufakatan jahatnya? Tentu fee proyek. Anggota dewan sepakat membahas APBD 2025 dengan konpensasi fee proyek 20 persen. Yang awalnya mereka sebut dengan Pokir (Pokok Pemikiran).
Lalu Pokir itu berubah atau dìubah dalam bentuk proyek yang dìtitipkan di Dinas PUPR.
Apa iya? Pokir anggota dewan bentuknya bangun kantor PUPR, Rehab rumah dinas kepala daerah. Kalau proyek bangun jembatan dan jalan mungkin iya.
Ini bentuk kesepakatan/mufakat jahat. Mengambil fee proyek untuk para anggota dewan menjelang lebaran. Celakanya lagi, Nop, menambah 2 persen dari 20 persen permintaan dewan. Sehingga total fee proyek 22 persen.
Artinya total fee 9 proyek itu Rp 7,7 M. Yang Rp 7 M untuk DPRD OKU, sisanya Rp 700 juta untuk PUPR. Apa iya untuk PUPR saja. Itu hanya Nop yang tahu. (and)
*Dari Peristiwa Operasi Tangkap Tangan KPK di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sabtu 15 Maret 2025.