Feminisme, Kedalaman Cinta, dan Lailatul Qadr

oleh
oleh

Oleh:

Masayu Indriaty Susanto

Islam begitu mengistimewakan malam.  Kesunyian, kegelapan, dan kesyahduannya  menjadikan malam hari menjadi waktu terdekat relasi antara hamba dengan Tuhannya.

Hampir semua prestasi puncak spiritual  terjadi pada malam hari. Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan spiritual Isra’ Miraj pada malam hari. Sholat tahajud yang begitu diutamakan dilakukan pada malam hari. Tiga sholat fardhu dilakukan pada malam hari.

Ayat pertama dalam Alquran (Al Alaq/95:1-5) diturunkan pada malam hari. Begitu juga sebuah malam kemuliaan, yang menjadi misteri selama berabad-abad. Malam pengampunan, malam kemuliaan, malam yang dinyatakan lebih baik dari seribu bulan. Lailatul Qadr.

Secara literal, Lailatul Qadr (LQ) berasal dari dua kata, yaitu lailah dan qadr. Qadr berarti mulia. Sedang lailah berarti malam.

Secara alegoris, lailah bermakna gelap atau kegelapan, kesunyian, kesepian, keheningan, kesyahduan, kerinduan, dan kedamaian.

Namun secara anagogis, lailah juga dimaknai kekhusyukan, kepasrahan (tawakkal), kedekatan (taqarrub) kepada Ilahi, dan kedalaman cinta (mahabbah).

 

Syair Klasik

Namun, dalam syair klasik Arab, lailah lebih banyak dimaknai secara alegoris. Gelap dan sunyi. Sedangkan dalam syair sufistik, lailah lebih banyak menekankan makna anagogisnya. Syahdu, pasrah, dan cinta yang mendalam kepada Sang Maha Pencipta.

Karena itulah para sufi lebih banyak menghabiskan waktu malamnya untuk bermujahadah, bertafakur,  dan mendekatkan diri menuju Tuhan. Mereka berterima kasih kepada al-lailah (malam) karena selalu memberikan kesyahduan dan menemani kesendirian mereka.

Pada malam hari, jarak spiritual antara hamba dan Tuhan dirasakan lebih pendek. Lebih dekat.

Seperti yang dkatakan Imam Syafi’i, barang siapa yang mendambakan martabat utama, banyaklah berjaga di waktu malam).